Sorry I Love You!
Rindy Triana
“Kak Noah!!!”
Laki-laki jangkung itu berhenti dan menolehku.
“Hosh…hosh….hosh,”
aku mencoba mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Baru berlari sebentar saja
sudah membuatku hampir kehabisan nafas. Kak Noah melihatku dan tersenyum,
membuat matanya menyipit dan hampir menghilang seperti bulan sabit.
“Kenapa?”
tanyanya kemudian padaku. Setelah merasa cukup nyaman, aku berdiri
mendekatinya.
“Di
panggil dari tadi juga, nggak nengok-nengok!” jelasku dengan sedikit sebal.
Sementara Kak Noah malah menertawaiku.
“Kenapa?!”
bentakku.
“Sorry deh sorry, Kakak nggak tahu.” Ucapnya memohon maaf sambil mengangkat kedua tangannya ke depan wajahku.
“Sorry deh sorry, Kakak nggak tahu.” Ucapnya memohon maaf sambil mengangkat kedua tangannya ke depan wajahku.
“Makanya,
laen kali di dengerin donk kalo ada yang manggil. Bisa-bisa mati kehabisan nafas
nih aku!” jelasku masih dengan nada sebal.
“Iya,
kodok bawel!” Kak Noah menarik hidungku.
“Aaaaahhh,
sakit!” erangku, menahan rasa pedas di hidungku.
“Alah,
kalo kamunya keabisan nafas, itu bukan gara-gara Kakak tau? Itu karena emang
kamunya yang gendut kok! Hehehe…” candanya sambil terus menarik hidungku.
“Ngejek?”
ku tajamkan mataku. Kak Noah berhenti tertawa dan melepaskan tangannya dari
hidungku.
“Yee,
ngambek. Maaf deh, Becanda kok. Oh ya, kenapa manggil-manggil Kakak sampe
ngos-ngosan gitu?”. Iya, aku ingat tujuanku kemari. Menyusulnya sampai
kehabisan nafas seperti ini.
“Aku
mau nanya, Kakak sebenernya mau ngenalin aku sama siapa?”
“Alah,
kirain apaan. Udah, tunggu aja. Ntar kamu juga tau kok. Udah ya, Kakak ke kelas
dulu. Udah ada dosennya tuh! Bye kodok!”
“Eh,
eh, Kak, tunggu!” Kak Noah selalu seperti itu. Sangat suka membuatku penasaran.
Sekarang dia pergi begitu saja ke kelasnya meninggalkanku. Huft, sebaiknya aku
juga segera ke kelasku.
Sesuai
janjinya tadi malam, selesai jam kuliah kami berakhir, Kak Noah memang
membawaku ke suatu tempat. Dia bilang dia hendak mengenalkanku pada seseorang.
Sekarang
tibalah kami disini. Di cave Ivy, cave favorit Kak Noah. Kalau ku ingat-ingat,
setidaknya sudah hampir empat kali aku di ajak Kak Noah kemari. Ku akui,
tempatnya memang unik, dan cukup asik untuk sebuah cave.
“Kamu
mau minum apa?” tawar Kak Noah padaku, begitu seorang waiters mendekati tempat
duduk kami.
“Hmm,
Iced lemon tea aja.”
“Iced
lemon teanya dua.”
“Ada
lagi?” Tanya waiters tadi. Kak Noah tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Waiters tersebut segera pergi mengambilkan pesanan kami.
“Mana
orangnya?”
“Hmm…?”
“Orangnya
mana?” Kak Noah tersenyum.
“Udah
tungguin aja!”
Beberapa
saat kemudian, waiters yang tadi datang lagi ke tempat duduk kami sambil
membawakan minuman yang sudah kami pesan.
Sudah
hampir 20 menit kami berdua menunggu dan hanya berdiam diri. Entah kenapa,
tiba-tiba suasananya menjadi canggung. Sementara itu, Iced lemon tea-ku sudah
hampir habis. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri kami.
“Hay?!”
Sapanya begitu tiba tepat di hadapan kami berdua, dan langsung duduk di bangku
yang masih kosong. Ku lihat Kak Noah tersenyum memandanginya, begitu pula
wanita itu. Sepertinya mereka sudah lama saling kenal, bahkan lebih dari
sekedar saling mengenal. Hmm…ada sedikit kenyerian di dadaku. Wanita itu
bergantian memandangiku. Senyumnya memudar. Begitu pula denganku. Terasa
semakin canggung. Ku paksakan untuk tersenyum, dan pada akhirnya hanya bisa
membuang muka.
Setelah
beberapa detik yang diisi dengan kecanggungan, Kak Noah pun memecah keheningan.
“Vril,
kenalin, ini Bunga!” ucap Kak Noah memperkenalkan diriku pada wanita itu.
Wanita itu hanya melihatku sejurus, tanpa senyum.
“Nga,
ini orang yang mau Kakak kenalin sama kamu. Kenalin juga, namanya Ivril!”
ragu-ragu, aku mengangkat tangan kananku dan mencoba menjabat tangannya. Begitu
pula dengannya, ku lihat dia juga menyambut tanganku dengan ragu.
“Ivril,”
“Bunga.”
“Ini
siapa? Temen kamu?” alihnya pada Kak Noah. Entah karena apa, tapi mulai detik
itulah, aku merasa benci dengan wanita itu. Jujur aku tak suka dengannya.
Kak Noah masih diam. Sementara
Ivril masih menunggu jawaban.
“Hey?!
Kok diem sih?” tanyanya lagi. Kali ini Kak Noah sepertinya akan menjawab. Aku
hanya menonton, dan berharap Kak Noah memberikan jawaban yang akan menenangkan
perasaanku.
“Iya.
Bunga ini temen aku.” Deg. Tiba-tiba saja, cave itu terasa begitu hampa. Dadaku
terasa semakin nyeri. Entah kenyerian apa ini? tidak seperti biasanya, ini
kenyerian yang berbeda. Tepatnya bukan di jantung. Aku rasa titik pusatnya
adalah di hati!
“Ooohh….”
Hanya jawaban itu yang berhasil aku dengar. Selebihnya masih terasa hampa. Aku
masih merasakan kenyerian itu.
Setelah satu jam mereka sibuk
sendiri, akhirnya Ivril pulang lebih dulu. Barulah setelah itu perhatian
kembali tertuju padaku.
“Nga,
mau pulang nggak?” Tanya Kak Noah padaku. Aku menghela nafas sebentar.
“Kenapa
Kakak ngomong kayak tadi?” tanyaku dengan muka sebal yang tak bisa ku
sembunyikan.
“Ngomong
apanya?”
“Kita
cuma temenan?” jelasku semakin kesal.
“Oooh…hehehe…emang
kita temenan kan? Emangnya apa?”. Aku menatapnya tajam. Kak Noah berhenti
tertawa dan akhirnya diam. Lalu kemudian, rasa penasaran itu memuncak dan
mendorongku untuk bertanya.
“Dia
itu siapa ?” ada keraguan tersirat di wajah Kak Noah setelah mendengar ucapanku
barusan. Senyumnya menghilang. Dengan ekspresi kosong, Kak Noah menjawab, “Dia
mantan aku!”.
Hari
ini aku tak begitu bersemangat ke kampus. Aku bosan belajar, aku bosan
berfikir, dan aku bosan bertemu dengan Kak Noah. Setelah pulang dari cave
kemarin, aku tak banyak bicara. Begitu sampai di rumah pun aku tak berbasa-basi
lagi dan hanya mengucapkan terima kasih dan segera masuk ke dalam rumah. Saat
itu juga, aku merasa berkeinginan untuk menutup diri dari Kak Noah, termasuk
me-nonaktifkan ponselku semalaman penuh. Aku tahu, hari ini Kak Noah pasti akan
menghampiriku di kelas.
“Hey,
kodok! Kenapa nomornya nggak aktif sampe sekarang?” Kak Noah datang
menghampiriku, seperti biasa, dengan ekspresi cerianya yang jujur biasanya
selalu bisa membuatku merasa senang melihatnya. Tapi, tidak untuk kali ini.
“Hey,
kenapa sih?” sekarang dia duduk di sampingku dan mencoba melihat wajahku yang
sedari tadi tak sedikitpun berpaling padanya.
“Nga,”
Dia mencoba meraih hidungku, namun segera ku helakkan.
“Kenapa?”
“Nggak
kenapa-kenapa! Udah pergi sana, masuk kelas! Ngapain kemari?” usirku lemah.
“Loh
kenapa? Nggak boleh? Suka-suka donk. Kakak kan mau liat kodok bawelnya Kakak.”
Ujarnya masih dengan nada bercanda. Beginilah dia, selalu tak pandai membaca
situasi. Padahal aku benar-benar mengharapkannya untuk pergi, karena aku tak
ingin membuat kami harus bertengkar bila dia tetap disini.
“Nama
aku Bunga. Jangan panggil-panggil aku kodok lagi deh!”
“Hah?!
Kok gitu? Kenapa sih, aneh gini?”
“Aneh?
Kakak kali yang aneh. Ngapain juga manggil-manggil aku kek gituan? Sok peduli
sama aku, mau dateng ke kelas aku tiap pagi? Nganter jemput aku tiap hari? Kita
kan nggak pacaran!” Deg. Kembali, rasa hening itu datang lagi. Kenyerian itu
juga datang lagi. Kenyerian yang sama seperti kemarin. Kali ini aku memalingkan
wajahku untuk melihatnya. Untuk pertama kalinya aku melihat Kak Noah begitu
kecewa. Dia pasti kecewa dengan ucapanku. Tapi, akulah yang lebih kecewa dengan
ucapannya kemarin.
“Jadi
cuma gara-gara itu kamu kayak gini?”
“Kita
emang nggak pacaran. Kan Kakak sendiri yang ngomong, kita cuma temenan.”
“Kamu
masih mikirin yang kemaren?!” aku hanya diam. Ku dengar Kak Noah menghela nafas
berat.
“Nga,
hanya karena kita temenan, bukan berarti Kakak nggak sayang sama kamu!” usai
mengatakan itu, Kak Noah berdiri dan segera pergi meninggalkanku. Aku
memandanginya dengan penuh penyesalan. Dadaku semakin nyeri, tapi ini bukan
lagi kenyerian yang tadi. Ini nyeri yang sudah biasa aku rasakan. Ini kenyerian
yang hampir membunuhku.
***
Sudah
tiga hari kami begini. Saling berdiam diri. Tak ada yang menyapa. Tidak
denganku, tidak juga dengan Kak Noah. Kami bertahan dengan ego masing-masing.
Atau, cuma akulah yang terlalu mementingkan ego.
Padahal,
kami selalu bertemu di berbagai kesempatan. Awalnya, aku merasa lebih baik
begini, aku merasa lukaku akan terobati. Tapi nyatanya, luka itu semakin sakit
dan membuatnya semakin terasa nyeri. Semakin hari aku semakin merasa rindu
padanya. Aku ingin segera berbaikan. Ingin segera bicara lagi, ingin di jahili
olehnya lagi, termasuk ingin melihat senyumnya lagi.
Satu
tahun saling mengenal dan menjadi begitu akrab, ku kira hubungan kami akan
menjadi lebih dari sekedar teman. Sahabat?! Bahkan ku kira sudah lebih dari
itu. Ternyata, aku masih hanya menjadi sosok teman di matanya.
Mungkin
aku tahu semuanya tentang dia. Semuanya tentang Kak Noah. Satu tahun bersama,
bukan waktu yang singkat menurutku. Aku tahu apa hobinya, aku tahu apa
kebiasaannya, aku tahu makanan favoritnya, aku pun tahu semua masalah yang di
hadapinya. Termasuk konflik dalam masalah percintaannya. Kak Noah selalu cerita
tentang masalah yang di hadapinya bersama pacarnya, dan aku selalu mencoba
membantu semampuku. Walaupun selama itu, aku tak pernah tahu siapa itu yang
menjadi kekasihnya.
Aku
tahu kapan Kak Noah sedang pergi bermain futsal. Aku tahu kapan Kak Noah begitu
merasa suntuk. Aku tahu kapan Kak Noah berkata serius atau tidak, dan aku tahu
kalau sudah hampir setengah tahun ini Kak Noah hanya sendiri.
Dengan kedekatan
kami selama ini. Dengan semua perhatiannya padaku. Dengan semua perlindungannya
terhadapku selama ini, ku kira kami akan menjadi lebih dari sekedar teman.
Sebenarnya aku mengharapkan lebih dari itu. Jujur aku menyukai Kak Noah. Aku
menyayanginya!
Itu
Kak Noah. Dia sedang duduk di bawah pohon di taman. Aku tahu apa yang harus ku
lakukan sekarang. Melupakan ego.
“Kak!”
panggilku dari kejauhan sambil berjalan mendekatinya. Ku lihat dia melihatku.
Tanpa senyum.
Aku terus mendekat dan mencoba
tersenyum padanya. Namun dia malah mengambil tasnya dan berdiri. Aku berhenti
berjalan, dan senyum itu pun pudar. Sepertinya Kak Noah akan menghindar.
“Kak!”
panggilku lagi. Dan ternyata benar, Kak Noah menghindariku. Dia melangkah
menjauh.
“Kak!”
aku mencoba mengejarnya.
“Kak,
tunggu!”. Deg. Hening. Semuanya hening. Tak ada suara apa pun yang berhasil ku
tangkap. Rasa nyeri itu kembali. Kali ini kenyerian itu bercampur. Aku
merasakan dua kenyerian sekaligus.
Pening. Kesunyian ini membuat
kepalaku pening dan semuanya terasa memudar. Semakin lama semakin nyeri.
Semakin lama semakin pening. Semakin lama semakin aku tak sanggup berdiri.
Dengan sisa kekuatan yang masih ku miliki, mataku masih bisa menangkap sedikit
cahaya, ada sedikit ruang yang berhasil ku lihat. Semakin nyeri. Semakin
pening. Taman ini menjadi semakin sempit di mataku. Tubuhku terasa begitu
ringan.
Pudar. Hening. Berputar. Ruang yang
ku lihat semakin sempit dan semakin sempit. Dalam waktu beberapa detik yang ku
lalui sekarang menjadi sepuluh kali lipat lamanya. Saat cahaya itu semakin
menghilang dan ruang yang ku lihat semakin menyempit, sebelum akhirnya semuanya
hanya menjadi hitam, aku bisa melihatnya mendekatiku. Aku melihat Kak Noah
berbalik dan mendekatiku. Aku melihatnya terus mendekat dan sepertinya dia
sedang berlari.
Hening. Pening. Pudar dan akhirnya
menghilang. Hitam. Hitam. Gelap. Terhempas.
“Nga,
nga, bungaaa!!!”
Hangat.
Nyaman. Hening. Sepertinya ini pelukan!
Kosong.
Tak ada siapa-siapa. Aku tahu ini dimana. Sudah terlalu sering begini. Mataku
berkeliling memerhatikan sekitar. Tiba-tiba seseorang datang dan masuk kemari.
Itu Kak Noah. Dia berjalan mendekat, dan
duduk di dekatku sambil menatapku penuh penyesalan. Aku tak berkomentar
sedikitpun. Belum ada kekuatan. Ku rasa nyawaku belum sepenuhnya terkumpul
kembali.
Kak Noah
menggenggam tangan kananku.
“Nga,
maafin Kakak!”. Aku hanya bisa diam dan memejamkan mataku. Tiba-tiba saja aku
rindu orang tuaku. Dulu, waktu aku belum kuliah dan hidup sendiri disini,
saat-saat seperti ini, orang pertama kali yang ku lihat adalah Ibu. Sungguh aku
rindu mereka. Aku membutuhkan mereka. Aku membutuhkan orang lain yang lebih
dari sekedar teman! L
“Nga,
Kakak nggak mau liat kamu kayak gini lagi. Kakak nggak mau liat kamu kayak
tadi. Kakak janji nggak panggil kamu kodok lagi, kakak nggak datengin kamu ke
kelas lagi, tapi izinin Kakak anter jemput kamu. Kakak cuma nggak mau
kejadiannya kayak gini. Tiga hari ini jujur Kakak takut ninggalin kamu. Maafin
Kakak, Nga. Kakak….” Suaranya terhenti. Aku membuka mataku. Menunggu kelanjutan
kalimatnya.
“Kamu
harus tau, Kakak sayang sama kamu lebih dari sekedar temen. Kakak sayang sama
kamu lebih dari itu, Nga. Lebih dari itu!”. Aku mencoba untuk tersenyum. Kali
ini aku merasa berbeda. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu di sayangi oleh
orang lain selain orang tuaku.
***
“Nga,
maafin Kakak untuk semuanya ya!” Kak Noah menggenggam tanganku.
“Ih,
bawel banget sih. Kakak aja ya yang jadi kodok bawelnya! Udah berapa kali sih
Bunga bilang udah maafin Kakak?!” jelasku pura-pura sebal.
“Hmm…
maaf untuk kejadian di cave itu juga, ya!” deg. Nyeri. Nyeri itu kembali. Kali
ini aku tak bisa menahannya. Terasa begitu pengap. Dada ini begitu pengap.
“Nga,
Nga, kamu kenapa, Nga?”. Perih. Rasanya semakin sesak.
“Nga,
kamu kenapaaa?” Kak Noah berdiri, sepertinya hendak pergi memanggil dokter.
Tidak. Bukan itu yang aku butuhkan sekarang. Segera ku tarik lengannya. Kak
Noah duduk kembali. Nyeri-nya mulai menghilang. Lebih baik. Sudah lebih baik
sekarang. Kak Noah memerhatikanku dengan begitu cemas.
“Kenapa?
Sakit banget ya?” tanyanya khawatir. Aku menggelengkan kepala. Aku menarik
nafas sejenak dan mencoba mulai mengutarakan semua yang ingin aku tanyakan.
“Bunga
cuma mau tahu, Kakak selama ini anggap Bunga sebagai apa? Temen? Atau adek?!
Kak, jujur, Bunga sayang sama Kakak lebih dari dua kemungkinan itu!” jelasku.
Berharap perasaanku akan menjadi lebih baik setelah mengatakannya.
“Kakak…Kakak
sayang sama Bunga juga…lebih dari itu.” Terdengar seperti kebohongan. Pertemuan
di cave dengan Ivril waktu itu masih mengganjal perasaanku. Aku tak ingin
terlihat lemah. Aku tak ingin terlihat begitu sakit. Tapi ku akui aku memang
cemburu.
“Tapi
kenapa Kakak bawa aku ke Ivril?”. Air mata ini tak bisa di tahan lagi. Kak Noah
menatapku iba. Tangannya meraih dan mengusap air mataku.
“Kakak
tahu Kakak salah, Nga. Kakak terlalu mementingkan ego. Kakak terlalu takut
menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Kakak takut menerima penolakan.”
Jelasnya.
“Kakak
nggak pernah cerita soal ini ke kamu. Kakak putus sama Ivril itu karena kamu.
Kakak merasa sayang Kakak ke kamu melebihi rasa sayang Kakak ke Ivril. Saat
itulah Kakak merasa cukup berani untuk memilih salah satu, dan ternyata Kakak
nggak punya begitu besar keberanian untuk jujur sama kamu. Selama lima bulan
ini juga, Ivril selalu minta Kakak buat kembali. Tapi Kakak juga nggak pernah
cerita soal ini ke kamu, Kakak nggak bisa ninggalin kamu. Dan kemaren, Kakak
rasa Kakak terlalu bodoh karena takut untuk berkata jujur, Kakak merasa lebih
baik Kakak kembali sama Ivril. Tapi nyatanya, Kakak tetep nggak bisa ninggalin
kamu.”
“Tapi
sekarang Bunga udah tahu, Kak. Sekarang Kakak udah berani untuk jujur sama
Bunga. Kakak nggak bakal ngerasain apa yang Kakak takuti selama ini. Kakak
nggak bakal dapetin penolakan. Karena, Bunga juga sama kayak Kakak. Bunga juga
nggak pernah berani jujur kalau sebenarnya Bunga sayang sama Kakak.” Begitu
mendengarnya, Kak Noah segera memelukku. Dan dia menangis. Untuk pertama
kalinya aku melihatnya menangis.
“Nga,
maafin Kakak baru bisa jujur setelah kamu kayak gini. Sekarang Kakak tahu Kakak
salah. Kakak melewatkan lima bulan dengan kebodon Kakak sendiri yang ngebuat
semuanya terbuang sia-sia. Mulai sekarang, Kakak nggak mau kamu kenapa-kenapa.
Kakak nggak mau kamu sampe kayak gini lagi. Kakak mau kamu jadi lebih dari
sekedar temen Kakak. Kakak mau kamu jadi pacar Kakak!”. Kebahagiaan. Kali ini
kenyerian itu pergi dan di gantikan dengan kebahagiaan yang mengisi penuh
dadaku. Untuk kali ini aku benar-benar merasakan indahnya menyayangi dan aku
bisa memiliki. Sekarang dia milikku. Dia lebih dari sekedar teman. Dia lebih
dari yang aku butuhkan. Kak Noah, dia kekasihku, sekarang!
“Yes,
I will be your girl friend, Kodok bawel!”. Kak Noah melepaskan pelukannya dan
memandangiku dengan senyuman yang kembali membuatku bahagia melihatnya.
“Sekarang
masih sakit, nggak?” ekspresinya kembali berubah menjadi khawatir. Aku
menggelengkan kepalaku dan menarik lengan kanannya dan ku letakkan di dadaku.
“Sakit
jantung sama sakit hati itu beda-beda tipis, Kak! Sekarang, sakit yang biasa
aku rasain di hati aku, udah penuh sama cinta. Artinya jantung aku juga udah
sembuh karena di penuhi oleh cinta!”. Kak Noah kembali tersenyum dan mendekatkan
wajahnya padaku.
“Kamu
tahu nggak apa lagi yang beda-beda tipis?” aku menggelengkan kepala.
“Cemas
sama tenang juga beda-beda tipis. Kamu tahu nggak, Kakak nggak pernah lepas
dari rasa cemas atas diri kamu, Nga. Tapi sekarang, kamu bisa buat Kakak
sedikit lebih tenang! Muuaacchh…” kecupan hangat mendarat di keningku. Rasanya
begitu nyaman.
“Cepat
sembuh ya, Nga!”. Deg. Rasa nyerinya kembali. Kenyerian itu kembali memenuhi
jantungku. Tapi untuk kali ini aku harus berbohong. Aku harus bisa berbohong,
mulai dari sekarang. Berbohong untuk menahan rasa nyeri ini. Satu lagi yang
beda-beda tipis. Jujur sama pura-pura jujur itu juga beda-beda tipis. Maaf Kak, Bunga cuma nggak mau Kak Noah
takut kalau Bunga terlalu jujur. Kak Noah lebih baik nggak tahu kalau Bunga
nggak bisa bertahan lebih dari satu bulan lagi.
Jujur akan terasa begitu indah,
walau pada akhirnya kita akan merasa amat menyesal karena telah terlambat untuk
berkata jujur!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh titip kritik atau saran ! :)