Lagu Sedih
Rindy Triana
Langit masih mengamuk.
Meneteskan air matanya. Awan-awan mendung tak mau menghindar dari pandanganku.
Sesekali kilat menyambarkan cahaya seramnya. Aku menatapi air yang mengalir di
kaca jendela kamarku. Terus mengalir. Ku coba menghapus alirannya dari dalam
kamarku. Sudah ku raih letak alirannya, namun tak dapat ku usap sama sekali.
Hujan terus menambah alirannya. Apa yang salah ? jemariku sudah benar
menyentuhnya. Niatku sudah tulus membantu menepiskan tangisnya. Yang salah hanya
satu, aku berada di tempat yang salah. Aku tak menyentuhnya secara langsung.
Aku berhenti menangis. Ku
perhatikan wajahku di cermin, mataku sudah memerah, lumayan membengkak. Ku
lirik jam dinding di kamarku, pukul 00 malam. Aku tak tahu apa yang harus ku
lakukan. Air mataku terlalu menyakitkan untuk ku tahan. Perasaanku terlalu
rapuh ku biarkan menampung lebih banyak lagi luka. Hatiku sudah amat perih
terkena beribu kali sayatan. Tapi tak ada yang mengerti. Satupun tak ada. Dia
tetap dengan pendiriannya. Dia tetap membiarkan aku menangis meski ia pernah
mengatakan tangisku luka baginya. Dan dia tetap membiarkan aku bersedih meski
ia ingat pernah katakan kalau kesedihanku adalah sakit untuknya.
Satu-satunya yang ku
harapkan darinya, agar dia kembali menjadi dirinya yang dulu pernah buatku
merasakan kedamaian yang sekarang sudah tak lagi ku temui. Tak ku dapati lagi
kedamaian itu setelah perubahan sikapnya. Dia yang dulu dan dia yang sekarang
sudah sangat berbeda. Aku menemukan orang yang berbeda di dirinya yang
sekarang. Aku menemukan sosok yang bertolakan dengan dirinya yang dulu.
Andai aku bisa membuatnya
kembali menjadi dirinya yang dulu. Andai saja.
***
Suara getar Hpku membangunkanku. Aku membuka kedua
mataku yang masih terasa berat. Ternyata semalam aku tertidur di meja
komputerku. Ku ambil Hpku, 1 message dari Rivan. Ku buka pesannya dan ku baca.
Sebuah tulisan singkat yang berisikan namaku. “angel !”.
Apa yang dia inginkan ? kenapa dia begitu ramah pagi ini ? seolah tak
terjadi masalah apa-apa di antara aku dan dia, tadi malam. Ku biarkan saja
pesan darinya. Hatiku masih terlalu sakit untuk kembali berpura-pura baik-baik
saja di depannya.
Ku buka jendela kamarku,
menghirup udara pagi yang lumayan menyegarkan paru-paruku. Dari sini aku dapat
melihat jalanan, pohon-pohon yang berada di samping rumah, dan beberapa
orang-orang yang berseliweran.
Mataku membawaku kepada dua orang yang sedang
duduk bersama di luar sana, tepatnya di teras rumah Anita, tetanggaku. Dia
sedang duduk manis menjamu pacarnya yang sedang bertamu. Aku terus memerhatikan
mereka. Mereka bercerita, tersenyum, tertawa, dan sesekali saling menjahili
satu sama lain.
Aku ingat waktu itu, waktu aku dan Rivan masih
baik-baik saja. Menghabiskan waktu bersama, tersenyum, tertawa, berbagi, bercerita.
Aku masih ingat betul betapa indahnya saat-saat itu. Dan jujur saja aku rindu,
rindu dengan masa lalu yang indah bersamanya.
Ku palingkan pandanganku dari rumah Anita. Aku
memutuskan untuk mandi dan pergi ke suatu tempat yang bisa menghibur hatiku.
Tak butuh waktu lama, kurang lebih 10 menit
berlama-lama di kamarku. Aku segera pergi keluar menggunakan jasa taksi.
Sebenarnya aku bingung hendak berlabuh dimana. Namun, setelah lama
berputar-putar dengan taksi yang ku tumpangi ini, aku memutuskan untuk
berhenti, selain karena sopir taksi ini sudah geram melihatku yang hanya
celingukan mencari-cari tempat untuk di singgahi. Aku juga memutuskan berhenti
karena tarif ongkos taksiku sudah di atas 50 ribu.
Satu jam lebih aku terkunci di dalam taksi ini.
Sekarang aku turun di salah satu taman kota Surabaya. Tak terlalu ramai disini.
Ada beberapa pepohonan yang berhasil merayuku untuk duduk di bawahnya.
Ku hirup
udara segar. Aku menyandarkan diri di batang pohon ini. Tapi lagi-lagi ada yang
mengganjal hatiku. Kembali aku mendapati orang-orang yang sedang berpacaran. Ku
lihat kiri-kananku kebanyakan dari mereka yang ada disini memang sedang bersama
pacarnya. Kembali kurasakan perih di dadaku. Terlintas bayangan Rivan. Teringat
kembali waktu aku di buat tertawa riang olehnya. Masih lekat di fikiranku, saat
aku tersandar manja di pundaknya. Menangis cengeng di pelukan hangatnya. Dan
bertingkah manja di atas gendongannya. Aku ingat saat-saat Rivan bercerita
sambil membelai rambutku, tersenyum ramah setiap bertatap muka denganku, dan
melabuhkan pelukan hangatnya di setiap gundahku, gelisahku, resahku, dan
ketakutanku. Aku masih ingat semuanya. Aku masih ingat kata-katanya yang
menyatakan kalau dia sangat menyayangiku. Tapi semua hilang. Semuanya hilang
seketika dari dugaanku. Aku bukan lagi wanita yang ada di hatinya, dan Rivan
bukan lagi Rivan yang dulu.
Tanpa sadar air hangat membasahi pipiku. Menangis
? aku pasti menangis lagi.
***
Aku menarik napas panjang.
Ku tatap wajahku di cermin. Lihat ! lihat orang di seberang sana ! itu aku.
Betapa kokohnya aku berdiri di dalam cermin ini. Sekilas aku menemukan diriku
yang memang berdiri tegar di luar sana. Tapi tak ada yang tahu betapa rapuh aku
di dalam sini. Tak ada yang tahu betapa aku menangis meratapi kebodohan yang terlah
ku perbuat sendiri. Bodohnya aku terlalu mencintanya. Bodohnya aku terlalu
banyak berharap dengan ucapan manisnya dulu, dan kini tinggal aku sendiri yang
menyesalinya. Betapa susah aku untuk mengikhlaskannya, merelakannya pergi
begitu saja dariku, meninggalkan kenangan yang amat sangat menyakitkan. Dan
membiarkan saja dia pergi bersama wanita lain. Bodohnya aku !!! kenapa aku
harus mencintainya ??? sekarang aku tak bisa melupakannya. Aku tak bisa !
Ku kuatkan diriku untuk
berhenti menangis.
Seharian ini aku tak menghiraukan Hpku. Ku lihat banyak sekali pesan masuk
dan panggilan yang tak terjawab. Semuanya dari Rivan. Tak ingin ku baca
pesannya. Semuanya langsung ku hapus. Terdiam aku menatap Hpku. Tiba-tiba Hpku
bergetar. Calling-Rivan. Angkat ?
nggak ! angkat ? nggak ! ah angkat !
“hmm ?”
“Njel, kamu dari mana aja
? kenapa sms aku gak di bales ? telpon aku juga gak ada yang kamu angkat. Aku
cemas taunggak ?” ku dengar nada suara cemas Rivan. Jujur saja, aku merindukan
saat-saat ini. Merindukan saat Rivan perduli denganku. Merindukan perhatiannya.
Tapi aku tak bisa, perhatiannya tak lagi untukku. Sadar Angel ! dia sudah ada
wanita lain . L
Ku kuatkan diriku untuk
menentang perhatiannya. Untuk kali ini aku haru bisa bersandiwara seolah aku
benar-benar tak butuh lagi perhatiannya. Padahal sebenarnya aku butuh. L
“kamu nggak usah sok perhatian lagi sama aku, Van !” suaraku bergetar menahan tangis. Kuat Angel ! kamu harus kuat !
“kamu nggak usah sok perhatian lagi sama aku, Van !” suaraku bergetar menahan tangis. Kuat Angel ! kamu harus kuat !
“Njel, kamu dengerin Rivan
dulu ya ! Rivan bisa jelasin.”
“nggak, Van. Aku nggak
butuh penjelasan apa-apa lagi !” kali ini aku tak berhasil menahan tangisku.
Pipiku kembali basah oleh air mata kepedihan. Aku terisak. Tak mampu bertahan
dalam situasi ini. Orang yang dulunya slalu berhasil menenangkanku di saat aku
seperti ini, sekarang malah dialah yang menjadi satu-satunya penyebab luka ini.
Ingin segera ku akhiri telefon ini, namun jemariku tak cukup kuat menekan
tombolnya. Dan sekarang aku masih harus mendengar suaranya.
“Njel, Rivan minta maaf !
Rivan tau Rivan salah. Tapi serius Rivan gak maksud gitu. Rivan Cuma sayang
sama Angel.”
“nggak ! stop Van ! jangan
buat aku nambah sakit,Van ! udah cukup kamu sakitin aku dengan liatin kalo kamu
itu bukan milik aku lagi. Udah cukup kamu cium perempuan lain di depan aku, itu
udah,,,sangat,,,nyakitin aku, Van ! jangan buat aku nambah susah ngelepasin dan
ngelupain kamu. jangan buat aku tersiksa sama perasaan aku sendiri. Please,
pergi dari kehidupan aku ! anggep aja kita nggak pernah saling kenal. Aku
mohon, jangan dateng lagi di kehidupan aku. Bye !” kali ini aku berhasil
mengakhiri telefonnya, dan langsung ku matikan Hpku. Aku tahu Rivan akan
menelefonku lagi.
Aku tertunduk lemas dengan
kedua tanganku menopang wajahku. Menahan isak tangisku. Aku benar-benar lelah.
Kapan sakit ini akan berakhir ?
Bayangan itu terus menghantuiku. Kejadian dua hari
yang lalu tepat di depan wajahku. Keramaian malam, gelak tawa orang-orang itu,
wanita itu, Rivan, dan, dan, dan mereka berciuman. Tepat di depan wajahku.
Rivan mencium wanita lain di depanku. AAAAARRRRRGGGTTTT !!!
Ini semua membuat aku gila ! L
Kenapa ? kenapa harus
kamu, Van ? kenapa kamu harus sebaik itu sama aku ? kamu buat aku kecewa ! kamu
buat aku kecewa sama semua ucapanmu yang ternyata kebohongan besar. Kamu
ngebiarin aku nanggung sakit ini. Mestinya kamu lakukan terus terang. Kamu
lakukan semua yang sebenarnya dirimu mau. Jangan seperti ini, kamu berpura-pura
betah denganku sementara kamu tidak. Kamu udah buat aku gila sama cinta yang
kamu kasih dulu. Kamu biarin aku mati sendirian oleh racun perbuatanmu. Kamu
berubah ! kamu berubah dari kumbang yang baik menjadi lebah yang jahat. Kenapa
kamu mesti berubah, Van ? kenapa kamu gak sebaik ucapanmu ? kenapa kamu gak
sebaik dulu ? aku kangen kamu, Van ! kangen kamu yang dulu!!! L
Aku bicara sendiri,
sepertinya aku sudah benar-benar gila.
Aku sudah tak tahan dengan semua ini. Aku harus secepatnya mengakhiri
luka ini. Iya, aku yang harus mengakhirinya. Maaf, Van ! aku lebih baik pergi.
***
Aku mengenakan mantelku. Membawa tas dan Hpku.
Tepat pukul 10 malam, aku mengirim pesan ke Rivan untuk mengajaknya bertemu di
tempat biasa kami bersama. Di taman kota. Dengan taksi aku bersegera pergi ke
sana.
Setelah 10 menit menunggu. Ku lihat Rivan hadir
bersama motornya. Dia turun dari motor dan segera menghampiriku.
“Njel, kenapa kita harus ketemu disini ? taman kan
udah tutup ?” Rivan menyentuh bahuku dan aku segera menepisnya. Aku menatapnya
masih dengan wajah berantakan, mata sembab dan rambut yang acak-acakan.
“kamu gak usah pegang-pegang aku lagi !”
“Njel, kamu masih marah sama Rivan ? Rivan minta
maaf, Njel !”
Aku hanya diam.
“Njel,”
“Njel, ngomong donk !”
“Njel !!!” lagi-lagi Rivan
menyentuh bahuku.
“jangan megang-megang aku
! kita udah putus, Van ! kita udah enggak pacaran lagi,” aku mengatakannya
sambil terisak. Rivan menatapku lemah.
“Njel,” suaranya melemah.
Aku menatapnya tajam.
“jangan pernah kamu
ngehubungi aku lagi, jangan pernah ganggu kehidupan aku lagi ! kamu bukan
siapa-siapa aku lagi...” aku berteriak keras. Rivan menenangkanku sambil
memegang kedua tanganku.
“Njel, maafin Rivan, Rivan
khilaf, Njel. Rivan janji, Rivan gak bakal gitu lagi. Maafin Rivan!”
“kamu bilang kamu khilaf ?
kamu udah lukai perasaan aku, Van. 2 tahun kita sama-sama. Kamu udah baik jadi
diri kamu yang aku kenal, Van. Kenapa kamu mesti berubah di saat aku udah
terlanjur jauh terseret ombak kamu ? kenapa kamu gak bertahan sama sikap kamu
yang dulu ? jujur sampe sekarang aku masih gak terima, aku kehilangan kamu yang
aku sayangi. Tapi semuanya gak ada gunanya, kamu udah cukup buat aku benci sama
kamu ! kita putus, Van !” aku semakin kencang menangis. Aku berusaha melepaskan
diri dari Rivan. Namun dia tetap berusaha menenangkanku.
“Njel, Angel !” Rivan
membentakku. Aku terdiam. Dia mendekatkan tangannya ke pipiku, mencoba
menghapus air mataku. namun aku segera menepisnya.
“terlambat, Van ! kita
udah putus ! semoga kamu bahagia sama pilihan kamu.” aku beranjak dan segera
meninggalkannya sendiri berdiri di sana. Aku terus saja menangis. Rivan terus
memanggilku dari tempatnya berdiri.
“Angel ! kamu salah, Njel,
aku sayang sama kamu ! Angel, Angel !!!” tak mau aku mendengarkannya. Ku
percepat langkah kakiku menjauh darinya.
Sudahlah, Van. Ini pilihan
kamu, kamu yang udah buang aku dari hati kamu. kamu yang campakin aku, sekarang
aku pergi dari kehidupan kamu. semoga kamu bahagia, dan semoga akupun bisa
bahagia setelah merasakan sakit yang kamu beri.
Seandainya dulu kita gak
saling kenal. Seandainya kamu benar-benar Rivan yang baik. Seandainya kamu tak
seperti ini. Andai saja aku sedang bermimpi. Andai saja ??? tapi bukan, ini
bukan mimpi. Ini alam sadarku. Maaf, Van, kita memang harus berpisah... L
L L L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh titip kritik atau saran ! :)