Pemilik Hati
Rindy Triana
“Kau
terindah, kan selalu terindah, aku bisa apa tuk memilikimu…”
“Huuuu!!!”
seluruh kelas gaduh melempari Isman dengan gumpalan-gumpalan kertas. Aku hanya
terkekeh melihat ulah usilnya.
“Nekat
banget sih lo!” ujarku begitu Isman kembali ke bangkunya di sebelah bangkuku.
“Hehe…
yang penting asik mamen.” Jawabnya dengan gaya khas miliknya, yaitu
menyilangkan kedua lengannya setinggi dada.
“Haha…
lo nggak takut apa, ntar dia malah minder dari lo?”
“Hey,
boy, cewek itu makhluk yang paling suka di godain. Apa lagi kalau di godain
sama orang ganteng kayak gue! Iya nggak?”
“Halah,
udahlah terserah lo aja deh.” Aku berpaling pada Virna yang tadi baru saja di
godai atau lebih tepatnya di ganggu oleh serangan maut Isman. Isman sudah lama
mengagumi sosok Virna yang menurutku cukup cantik. Selama lima bulan kami
bersama di kelas satu SMA, sepanjang itulah Isman selalu menggodai Virna dengan
berbagai lagu yang mampu memikat hati wanita, menurutnya. Virna bukanlah sosok
yang ramah. Dia wanita yang feminim dan tertutup. Sesering Isman mencoba
menarik hatinya, respon yang di berikan Virna hanya diam. Itulah keunikan yang
tersimpan pada diri Virna, begitulah menurut Isman. Lain Isman lain pula
denganku. Jika Isman tertarik pada Virna yang terkesan pendiam, tapi aku
menyukai Ladita yang terkesan tomboy. Kami berdua punya alasan tersendiri untuk
menyukai para wanita-wanita yang bertolak belakang itu. Tapi, ada perbedaan
antara aku dengan Isman mengenai cara kami menyukai para wanita itu, Isman memilih
untuk berterus terang, sementara aku memilih untuk memendam perasaanku. Tidak
Ladita, bahkan tidak pula Isman. Aku lebih memilih merahasiakan tentang ini.
Cukup ku nikmati saja caraku.
Isman
sudah pulang lebih dulu dariku, sementara aku baru saja selesai mengemasi
bukuku dan baru akan segera pulang. Begitu sampai di pintu, Ladita datang dan
menabrakku keras. Dia datang dengan tergesah-gesah, dan sekarang kami berdua
sama-sama terduduk di lantai.
“Minggir
napa sih? Gue mau masuk!” bentaknya begitu berhasil berdiri dan memperbaiki
posisinya.
“Sorry,”
dia melewatiku begitu saja. Mengambil tas punggungnya dan kembali melewatiku
untuk segera pulang.
“Ladita, kenapa lo nggak kayak Virna aja
sih?” gumamku sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas yang sudah sepi.
***
“Ehem..ehem..”
Isman mendehem sebelum menyanyikan lagu selanjutnya. Sudah beberapa lagu yang
di nyanyikan olehnya di iringi dengan musik gitar yang juga dimainkan sendiri
olehnya.
“Ehem..
kan ku sayangi kau, sampai akhir dunia, kan ku jadikan.. ehem.. ehem.. kok
suara gue jadi serak gitu ya?” ujarnya sambil memegangi tenggorokannya.
“Gimana
nggak abis, kalo dari tadi lo nyanyi lagu sealbum.” Aku hanya berkomentar
sambil terus tertuju pada layar laptop.
“Weis,
masbro biasanya gue bisa tahan sampe beratus-ratus lagu!” Isman kembali memetik
senar gitarnya, sepertinya akan segera lanjut ke lagu berikutnya.
“Kau
terindah kan slalu terindah, aku bisa apa tuk memilikimu,” suara Isman kembali
mengalunkan lagu favoritnya, pemilik hati milik Armada.
“Suka
banget sih lagu itu?” ujarku memberikan komentar.
“Gue
kan pasukan Armada mamen, dan lagu ini lagu favorit gue!” JRENG. Isman memetik
senar gitarnya dengan keras. “Kau pemilik hatiku!!!”
“Kau
pemilik hatiku?” gumamku pelan.
“Heyy
sob,” Isman tiba-tiba mengagetkanku dengan muncul tiba-tiba di sampingku.
“Kampret
lu, ngagetin aja.”
“Haha…
sorry coy. Ngomong-ngomong, lo nggak pernah ngasih tau gue, siapa sih pemilik
hati lo?” Isman bertanya sambil merangkul pundakku.
“Hehe…
apaan sih?”
“Weis,
semua cowok itu pasti punya pemilik hati mamen. Udahlah, kita ini sohib men,
ngomong aja lagi! Lo tau kan gue suka sama si Virna? Kenapa lo nggak ngomong
aja lo suka sama siapa?” aku memandang Isman yang sedang menaik turunkan kedua
alisnya ke atas dan ke bawah.
“Nggak
ada!”
“Alah,
terus si Ladita?” dari mana Isman tahu soal Ladita?
“Apaan sih?”
“Apaan sih?”
“Apa
yang nggak gue tahu sih, kita kan friend!” Isman menepuk-nepuk dadanya.
“Lo
tau dari mana?” tanyaku yang semakin canggung.
“Haha…
noh!” Isman menunjuk layar laptop. “Gue perhatiin, dari tadi akunnya si Ladita
mulu yang lo pasatin.” Mataku kembali teralih pada layar laptop. Akun twetter
Ladita terpampang jelas disana. Isman kembali merangkulku.
“Bawak
heppy aja coy. Nggak ada yang mesti lo rahasiain.” Isman kembali memetik senar
gitarnya dan lanjut bernyanyi.
“Tinggalkanlah
gengsi, hidup berawal dari mimpi….” Aku tak menghiraukan Isman. Yang ku tahu
sekarang dia tahu aku menyukai Ladita. Lama aku melamun menatap lurus ke depan.
Membayangkan seandainya aku memiliki keberanian yang besar seperti Isman.
Andaikan aku dapat dengan mudahnya mengungkapkan perasaanku pada sosok yang aku
kagumi. Ladita. Kau pemilik hatiku!
“Masbro,
gue pulang dulu ya? Udah sore, malem ini lo siap-siap aja, besok kita beraksi.
Hehe…” Isman berlalu dari kamarku dan segera pulang ke rumahnya. Hmm… mungkin
benar apa kata Isman. Semuanya harus di buat santai.
***
Hari
ini semuanya terasa berbeda. Terasa canggung. Isman terus saja berulang kali
menyinggungku agar memberanikan diri mengungkapkan perasaanku pada Ladita yang
sedari tadi hanya berdiam diri kursinya sambil memainkan laptop.
“Yo,
kapan lo bisa dapetin tu cewek kalo lo nggak pernah mau mulai?” Isman melompat
ke atas kursi di sampingku.
“Lo
tau nggak? Gue udah berhasil dapetin nomornya dia, dan gue tarohan besok gue
bisa bawak dia nonton sob. Haha…” aku hanya diam saja sambil terus memandangi
Ladita yang tak acuh sama sekali dengan suasana yang gaduh seperti sekarang
ini.
“Temui
dia sob, sepulang sekolah! Oke-oke?” Isman mengacungkan jempolnya padaku.
Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Akan ku coba.
“Lad,”
sapaku dengan gugup.
“Apaan
Lad-lad?” sergahnya dengan ekspresi sangar. Dia menggantungkan tasnya di lengan
kanannya.
“Hemm…
nama kamu kan Ladita.” Ujarku seperti orang kikuk.
“Gue
tau nama gue Ladita. Tapi nggak Lad juga kali manggilnya.”
“Hehe…
sorry. Terus?”
“Dita
aja!”
“Rio,”
ujarku sambil mengulurkan tangan.
“Gue
udah tahu. Kenapa?” aku menurunkan kembali lenganku.
“Oh
enggak, cuma mau minta nomor hp, boleh nggak?” keringat dingin mengalir di
sekujur tubuhku.
“Gue
nggak punya hp.” Ladita beranjak pergi meninggalkanku.
“Oh
ya udah makasih.” Lagi-lagi aku bersikap seperti orang bodoh.
“Haha…
lo lucu deh. Kalo mau nomor gue, liat aja di akun fb gue. Sorry ya, gue nggak
hapal. Cabut dulu ya?” Ladita kembali berjalan sebelumnya sempat menoleh
sebentar padaku. Terserah apa penilaian orang-orang. Yang jelas aku senang,
biar deh kena cuek asal tetep di kasih tu nomor.
“Gimana?
Udah siang nih. Lo jadi ngikut nggak?”
“Bentar.
Sabar napa sih, Man? Gue lagi nunggu balesan dari Ladita.” Aku kembali menatap
lekat-lekat layar ponselku. Menunggu balasan sms dari Ladita.
You Have 1 Message!
“Nonton? Boleh, kapan?”
“Yeah!!!” seruku kegirangan.
“Kenapa?
Heboh bener. Jadi?” tanya Isman. Aku tak memberikan jawaban apapun dan malah
dengan asiknya membalas sms Ladita. Beberapa saat setelah sms terkirim, aku
kembali mendapatkan sms balasan.
“Oh, oke!”
“Wuuuhhh, jadi, Man. Gue jadi ngikut!” ujarku dengan keras.
“Wuuuhhh, jadi, Man. Gue jadi ngikut!” ujarku dengan keras.
“Girang
banget sih. Makanya Men, kalo lo suka di bawak heppy aja.”
“Haha…
iya-iya makasih sob!” aku merangkul pundak Isman yang sedikit lebih pendek
dariku.
***
Acara
nonton beberapa minggu yang lalu itu, berjalan sukses. Kami berempat pergi ke
salah satu bioskop dan menonton sebuah film yang aku lupa apa judulnya. Ya,
semuanya berjalan dengan lancar. Kami ngobrol, makan, cerita-cerita, have fun lah.
Sepulang
dari sana, Isman berhasil mencuri hati Virna. Setelah lima tahun menjadi
pengagum setia Virna, dan akhirnya sekarang mereka jadian alias pacaran.
Kabarnya tetep langgeng dan sekarang sudah jalan tiga minggu. Aku turut bahagia
dengan keberhasilan Isman.
Tetap
dengan jargon yang sama. Lain Isman lain pula denganku. Jika Isman berhasil
menobatkan Virna sebagai pemilik hatinya, sementara itu tidak berlaku denganku.
Sebenarnya, aku dan Ladita biasa saja. Kami berteman, bercerita dan Ladita
orang yang ramah. Tapi, sewaktu aku hendak melakukan hal yang sama seperti yang
di lakukan oleh Isman, Ladita menolak. Sebab dia sudah punya pemilik hatinya
sendiri. Seorang pacar yang sudah bersamanya selama dua tahun lebih. Tapi dia
berkata, aku bisa menjadi sahabatnya.
Ya,
mungkin memang aku tidak seberuntung Isman. Mungkin pula boleh di katakan
Ladita bukan jodohku. Terserahlah, apa saja boleh di katakan. Tapi yang jelas,
aku belajar sesuatu. Rasa suka, rasa senang, rasa kagum, sayang bahkan cinta
akan lebih berwara dan bermakna jika kita berani untuk berterus terang
mengungkapkannya.
“Fine-lah gue tetep jomblo. Tapi tetep,
sampe sekarang, bagi gue Ladita tetep pemilik hati gue!”
“Yo’i sob, lo
bebas suka sama siapa aja!”
“Haha… maenin
lagi donk lagunya!”
“Sep!” Isman
kembali memainkan gitarnya.
“KAU PEMILIK
HATIKU!!!”
***
Palembang,
12 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh titip kritik atau saran ! :)