Rindooot

Welcome to my blog!!! :D
Thank's for visit :*

Selasa, 29 Januari 2013

Pemilik Hati


Pemilik Hati
Rindy Triana

            “Kau terindah, kan selalu terindah, aku bisa apa tuk memilikimu…”
            “Huuuu!!!” seluruh kelas gaduh melempari Isman dengan gumpalan-gumpalan kertas. Aku hanya terkekeh melihat ulah usilnya.
            “Nekat banget sih lo!” ujarku begitu Isman kembali ke bangkunya di sebelah bangkuku.
            “Hehe… yang penting asik mamen.” Jawabnya dengan gaya khas miliknya, yaitu menyilangkan kedua lengannya setinggi dada.
            “Haha… lo nggak takut apa, ntar dia malah minder dari lo?”
            “Hey, boy, cewek itu makhluk yang paling suka di godain. Apa lagi kalau di godain sama orang ganteng kayak gue! Iya nggak?”
            “Halah, udahlah terserah lo aja deh.” Aku berpaling pada Virna yang tadi baru saja di godai atau lebih tepatnya di ganggu oleh serangan maut Isman. Isman sudah lama mengagumi sosok Virna yang menurutku cukup cantik. Selama lima bulan kami bersama di kelas satu SMA, sepanjang itulah Isman selalu menggodai Virna dengan berbagai lagu yang mampu memikat hati wanita, menurutnya. Virna bukanlah sosok yang ramah. Dia wanita yang feminim dan tertutup. Sesering Isman mencoba menarik hatinya, respon yang di berikan Virna hanya diam. Itulah keunikan yang tersimpan pada diri Virna, begitulah menurut Isman. Lain Isman lain pula denganku. Jika Isman tertarik pada Virna yang terkesan pendiam, tapi aku menyukai Ladita yang terkesan tomboy. Kami berdua punya alasan tersendiri untuk menyukai para wanita-wanita yang bertolak belakang itu. Tapi, ada perbedaan antara aku dengan Isman mengenai cara kami menyukai para wanita itu, Isman memilih untuk berterus terang, sementara aku memilih untuk memendam perasaanku. Tidak Ladita, bahkan tidak pula Isman. Aku lebih memilih merahasiakan tentang ini. Cukup ku nikmati saja caraku.
           
            Isman sudah pulang lebih dulu dariku, sementara aku baru saja selesai mengemasi bukuku dan baru akan segera pulang. Begitu sampai di pintu, Ladita datang dan menabrakku keras. Dia datang dengan tergesah-gesah, dan sekarang kami berdua sama-sama terduduk di lantai.
            “Minggir napa sih? Gue mau masuk!” bentaknya begitu berhasil berdiri dan memperbaiki posisinya.
            “Sorry,” dia melewatiku begitu saja. Mengambil tas punggungnya dan kembali melewatiku untuk segera pulang.
            “Ladita, kenapa lo nggak kayak Virna aja sih?” gumamku sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas yang sudah sepi.
***
            “Ehem..ehem..” Isman mendehem sebelum menyanyikan lagu selanjutnya. Sudah beberapa lagu yang di nyanyikan olehnya di iringi dengan musik gitar yang juga dimainkan sendiri olehnya.
            “Ehem.. kan ku sayangi kau, sampai akhir dunia, kan ku jadikan.. ehem.. ehem.. kok suara gue jadi serak gitu ya?” ujarnya sambil memegangi tenggorokannya.
            “Gimana nggak abis, kalo dari tadi lo nyanyi lagu sealbum.” Aku hanya berkomentar sambil terus tertuju pada layar laptop.
            “Weis, masbro biasanya gue bisa tahan sampe beratus-ratus lagu!” Isman kembali memetik senar gitarnya, sepertinya akan segera lanjut ke lagu berikutnya.
            “Kau terindah kan slalu terindah, aku bisa apa tuk memilikimu,” suara Isman kembali mengalunkan lagu favoritnya, pemilik hati milik Armada.
            “Suka banget sih lagu itu?” ujarku memberikan komentar.
            “Gue kan pasukan Armada mamen, dan lagu ini lagu favorit gue!” JRENG. Isman memetik senar gitarnya dengan keras. “Kau pemilik hatiku!!!”
            “Kau pemilik hatiku?” gumamku pelan.
            “Heyy sob,” Isman tiba-tiba mengagetkanku dengan muncul tiba-tiba di sampingku.
            “Kampret lu, ngagetin aja.”
            “Haha… sorry coy. Ngomong-ngomong, lo nggak pernah ngasih tau gue, siapa sih pemilik hati lo?” Isman bertanya sambil merangkul pundakku.
            “Hehe… apaan sih?”
            “Weis, semua cowok itu pasti punya pemilik hati mamen. Udahlah, kita ini sohib men, ngomong aja lagi! Lo tau kan gue suka sama si Virna? Kenapa lo nggak ngomong aja lo suka sama siapa?” aku memandang Isman yang sedang menaik turunkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah.
            “Nggak ada!”
            “Alah, terus si Ladita?” dari mana Isman tahu soal Ladita?
            “Apaan sih?”
            “Apa yang nggak gue tahu sih, kita kan friend!” Isman menepuk-nepuk dadanya.
            “Lo tau dari mana?” tanyaku yang semakin canggung.
            “Haha… noh!” Isman menunjuk layar laptop. “Gue perhatiin, dari tadi akunnya si Ladita mulu yang lo pasatin.” Mataku kembali teralih pada layar laptop. Akun twetter Ladita terpampang jelas disana. Isman kembali merangkulku.
            “Bawak heppy aja coy. Nggak ada yang mesti lo rahasiain.” Isman kembali memetik senar gitarnya dan lanjut bernyanyi.
            “Tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi….” Aku tak menghiraukan Isman. Yang ku tahu sekarang dia tahu aku menyukai Ladita. Lama aku melamun menatap lurus ke depan. Membayangkan seandainya aku memiliki keberanian yang besar seperti Isman. Andaikan aku dapat dengan mudahnya mengungkapkan perasaanku pada sosok yang aku kagumi. Ladita. Kau pemilik hatiku!
            “Masbro, gue pulang dulu ya? Udah sore, malem ini lo siap-siap aja, besok kita beraksi. Hehe…” Isman berlalu dari kamarku dan segera pulang ke rumahnya. Hmm… mungkin benar apa kata Isman. Semuanya harus di buat santai.
***
            Hari ini semuanya terasa berbeda. Terasa canggung. Isman terus saja berulang kali menyinggungku agar memberanikan diri mengungkapkan perasaanku pada Ladita yang sedari tadi hanya berdiam diri kursinya sambil memainkan laptop.
            “Yo, kapan lo bisa dapetin tu cewek kalo lo nggak pernah mau mulai?” Isman melompat ke atas kursi di sampingku.
            “Lo tau nggak? Gue udah berhasil dapetin nomornya dia, dan gue tarohan besok gue bisa bawak dia nonton sob. Haha…” aku hanya diam saja sambil terus memandangi Ladita yang tak acuh sama sekali dengan suasana yang gaduh seperti sekarang ini.
            “Temui dia sob, sepulang sekolah! Oke-oke?” Isman mengacungkan jempolnya padaku. Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Akan ku coba.

            “Lad,” sapaku dengan gugup.
            “Apaan Lad-lad?” sergahnya dengan ekspresi sangar. Dia menggantungkan tasnya di lengan kanannya.
            “Hemm… nama kamu kan Ladita.” Ujarku seperti orang kikuk.
            “Gue tau nama gue Ladita. Tapi nggak Lad juga kali manggilnya.”
            “Hehe… sorry. Terus?”
            “Dita aja!”
            “Rio,” ujarku sambil mengulurkan tangan.
            “Gue udah tahu. Kenapa?” aku menurunkan kembali lenganku.
            “Oh enggak, cuma mau minta nomor hp, boleh nggak?” keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.
            “Gue nggak punya hp.” Ladita beranjak pergi meninggalkanku.
            “Oh ya udah makasih.” Lagi-lagi aku bersikap seperti orang bodoh.
            “Haha… lo lucu deh. Kalo mau nomor gue, liat aja di akun fb gue. Sorry ya, gue nggak hapal. Cabut dulu ya?” Ladita kembali berjalan sebelumnya sempat menoleh sebentar padaku. Terserah apa penilaian orang-orang. Yang jelas aku senang, biar deh kena cuek asal tetep di kasih tu nomor.

            “Gimana? Udah siang nih. Lo jadi ngikut nggak?”
            “Bentar. Sabar napa sih, Man? Gue lagi nunggu balesan dari Ladita.” Aku kembali menatap lekat-lekat layar ponselku. Menunggu balasan sms dari Ladita.
            You Have 1 Message!
            “Nonton? Boleh, kapan?”
            “Yeah!!!” seruku kegirangan.
            “Kenapa? Heboh bener. Jadi?” tanya Isman. Aku tak memberikan jawaban apapun dan malah dengan asiknya membalas sms Ladita. Beberapa saat setelah sms terkirim, aku kembali mendapatkan sms balasan.
            “Oh, oke!”
            “Wuuuhhh, jadi, Man. Gue jadi ngikut!” ujarku dengan keras.
            “Girang banget sih. Makanya Men, kalo lo suka di bawak heppy aja.”
            “Haha… iya-iya makasih sob!” aku merangkul pundak Isman yang sedikit lebih pendek dariku.
***
            Acara nonton beberapa minggu yang lalu itu, berjalan sukses. Kami berempat pergi ke salah satu bioskop dan menonton sebuah film yang aku lupa apa judulnya. Ya, semuanya berjalan dengan lancar. Kami ngobrol, makan, cerita-cerita, have fun lah.
            Sepulang dari sana, Isman berhasil mencuri hati Virna. Setelah lima tahun menjadi pengagum setia Virna, dan akhirnya sekarang mereka jadian alias pacaran. Kabarnya tetep langgeng dan sekarang sudah jalan tiga minggu. Aku turut bahagia dengan keberhasilan Isman.
            Tetap dengan jargon yang sama. Lain Isman lain pula denganku. Jika Isman berhasil menobatkan Virna sebagai pemilik hatinya, sementara itu tidak berlaku denganku. Sebenarnya, aku dan Ladita biasa saja. Kami berteman, bercerita dan Ladita orang yang ramah. Tapi, sewaktu aku hendak melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan oleh Isman, Ladita menolak. Sebab dia sudah punya pemilik hatinya sendiri. Seorang pacar yang sudah bersamanya selama dua tahun lebih. Tapi dia berkata, aku bisa menjadi sahabatnya.
            Ya, mungkin memang aku tidak seberuntung Isman. Mungkin pula boleh di katakan Ladita bukan jodohku. Terserahlah, apa saja boleh di katakan. Tapi yang jelas, aku belajar sesuatu. Rasa suka, rasa senang, rasa kagum, sayang bahkan cinta akan lebih berwara dan bermakna jika kita berani untuk berterus terang mengungkapkannya.
Fine-lah gue tetep jomblo. Tapi tetep, sampe sekarang, bagi gue Ladita tetep pemilik hati gue!”
“Yo’i sob, lo bebas suka sama siapa aja!”
“Haha… maenin lagi donk lagunya!”
“Sep!” Isman kembali memainkan gitarnya.
“KAU PEMILIK HATIKU!!!”
***
Palembang, 12 Januari 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh titip kritik atau saran ! :)