Namaku Laraswati
Rindy Triana
Gedung-gedung
pencakar langit bertengger megah. Kendaraan-kendaraan mewah dan canggih lalu
lalang. Orang-orang berjas dan berdasi keluar dari dalam mobil-mobil mahal itu.
Beberapa di antaranya membawa tas koper di dampingi oleh beberapa pembokat
setianya. Semua orang disini berdandan ala artis papan atas. Baju-baju mewah,
riasan wajah yang mencolok, dan bahasa yang di campur-campur dengan bahasa
Indonesia, Inggris, dan sedikit gabungan bahasa baru yang tak semua orang akan mengerti.
Semuanya berbeda. Sangat mewah. Sangat glamour!
Tapi
dimana pepohonan yang rindang itu? Dimana semua pohon-pohon besar yang dulunya
berdiri kokoh di sini? Yang tersisa hanya beberapa bunga hias yang di antaranya
juga kebanyakan adalah bunga plastik hasil buatan pabrik. Sungguh kemewahan
yang merusak kelestarian alamku dulu.
Lantas
untuk apa gedung-gedung itu berdiri sampai berjuta-juta banyaknya, jika masih
banyak orang-orang tak memiliki tempat tinggal dan menghuni kolong-kolong
jembatan, tepi-tepi rel kereta api, dan mengemis di jalan-jalan raya demi
mendapatkan sesuap nasi?
Apakah semua orang-orang itu adalah
orang yang pemalas? Sepertinya tidak!
Sebab apa alasan mereka datang
kemari, jika di desa, mereka bisa hidup lebih layak? Aku tahu, mereka semua
punya satu alasan yang sama, mereka kemari demi mengejar kehidupan yang lebih
mapan. Namun, Jakarta tak sepenuhnya memberi harapan.
Hanya
satu atau dua yang beruntung berhasil mendapatkan kesempatan bekerja di dalam
gedung-gedung itu. Itu pun hanya sebagai petugas kebersihan. Apakah benar sudah
tak ada lagi tempat untuk orang-orang yang malang ini? Apakah benar
gedung-gedung pengusaha itu hanya menampung mereka yang lulus dari perguruan
tinggi ternama dari Inggris, Prancis, atau Amerika saja? Lantas kemana perginya
mereka para sarjana dari Universitas di Indonesia? Menjadi pengangguran?
Menjadi para pengemis? Atau malah memilih untuk imigrasi ke luar negeri?
Sungguh bumiku yang dulu menjunjung tinggi persatuan kini telah menjadi bumi
yang hancur, menjadi bumi yang di huni para manusia yang lupa diri, menjadi
bumi yang di huni oleh para manusia yang terlalu serakah!
Lantas
dimana perginya pemerintahku? Dimana para penjabat negeri yang selalu di
agungkan para kalangan bawah? Dimana anggota-anggota dewan yang selalu
menjanjikan iming-iming manis kepada rakyat bangsaku? Mereke menghilang!
Apa mereka lupa akan tugasnya? Atau
mereka lupa kalau di negeri ini masih banyak orang yang harus mempertaruhkan
nyawa mereka demi mendapatkan beberapa butir beras untuk anak istri mereka?
Apakah mereka lupa siapa mereka? Apakah mereka sengaja lupa? Atau mereka memang
sengaja melepaskan tanggung jawab? Sepertinya tidak, aku tahu para petinggi
negaraku adalah warga negara yang baik. Aku tahu mereka semua orang baik-baik!
Aku tertegun
melihat dua orang anak kecil yang sebaya dengan adikku, sedang saling berkelahi
demi memperebutkan sisa nasi Padang yang ada di dalam tong sampah itu. Hanya
tersisa sedikit nasi basi dan tulang ayam yang masih tertempel sedikit daging
di sela-sela tulangnya. Mereka memperebutkan sampah itu. Dimana orang tua
mereka? Tak seharusnya mereka berkelahi demi mendapatkan nasi basi itu?
Tidak. Orang tua mereka pun sama.
Aku melihat mereka di ujung sana yang juga sedang mengorek-ngorek tong sampah,
berharap ada sisa makanan untuk mereka makan pagi ini. Dimana para
pemerintahku? L
Satu
jam perjalanan, aku tiba di sebuah warung nasi di pinggir jalan raya. Aku
mampir sejenak untuk mengisi perutku dengan sepiring nasi dan lauk seadanya.
Baru dalam suapan pertama, seorang nenek sambil menggendong bayi mendatangiku.
“Bantu
Ibu, Nak!” tangannya menengadah ke arahku.
“Bantu
apa, Ibu?” aku menelan suapan nasi pertamaku. Ku persilahkan Ibu itu untuk
duduk di sebelahku. Ku lihat bayi yang sedang berada di dalam gendongannya
sedang tertidur, namun sepertinya tak pulas, sebab sesekali ia merengek karena
kelaparan.
“Cucu
Ibu belum makan, Nak. Bantu Ibu, Nak. Tolong!” Nenek itu menitikan air mata.
Hatiku kembali tertegun. Ada berapa banyak orang kelaparan seperti ini di
tempat ini? di kota ini? di negeri ini? betapa teganya pemerintahku. Melepas
tanggung jawab mereka demi kepentingan pribadi. Dimana hati nurani mereka?
Aku
memanggil pemilik warung dan memesankan satu piring nasi lagi untuk Nenek dan
Cucunya ini. Namun sang pemilik warung menolak.
“Aduh
neng, ini Jakarta! Jangan mau di bohongin sembarang orang. Eh Ibu, pergi sana!
Jangan gangguin orang makan di warung saya! Balikin tu anak orang, kasian masih
bayi atuh!” pemilik warung memaksa Nenek itu untuk pergi.
“Tak
apa mang, biar saya yang bayar nasinya!” aku berusaha membela Nenek itu. Tapi,
pemilik warung tetap kekeuh pada pendiriannya, dia mengusir paksa Nenek itu
keluar dari dalam warungnya. Aku hanya bisa diam dan memerhatikan. Sekarang
nafsu makanku sudah hilang. Hilang akibat keprihatinanku pada negeri ini.
Aku meminta agar sisa nasiku di
bungkus saja. Di luar, belum jauh dari warung tadi, aku kembali menemukan Nenek
tadi sedang berteduh di bawah sebuah papan reklame. Aku menghampirinya dan
memberikan sisa nasiku yang baru ku sentuh satu suap saja. Dengan mengucapkan
terima kasih berkali-kali, ia mengambil nasi yang sengaja aku bungkuskan
untuknya. Setelah Nenek itu mengambil nasi dariku, aku langsung pamit untuk
kembali meneruskan perjalananku. Belum jauh aku berjalan, telingaku mendengar
suara kegaduhan dari belakang. Anggota SatPOLPP sedang meraziah para gepeng
(gembel dan pengamen). Aku melihat Nenek bersama Cucunya yang baru saja hendak
menyantap nasi yang ku berikan tadi, di tarik paksa oleh para petugas. Para
petugas itu tak menghiraukan keadaan mereka yang sangat kelaparan. Aku hanya
dapat menghela nafas kecewa. Sekali lagi aku merasakan kesedihan negeriku.
Rakyat bekerja
untuk membayar kepada pemerintah. Pemerintah membayar untuk rakyat. Tapi apa yang
di bayarkan untuk rakyat? Fasilitas sekolah gratis? Fasilitas kesehatan gratis?
Dana yang di peruntukan bagi mereka yang kurang mampu?
Sekolah gratis
hanya di peruntukan bagi mereka yang orang tuanya memiliki kelas. Fasilitas
kesehatan gratis pun sama, yang di dahulukan hanyalah mereka yang mempunyai
jabatan, lantas di buang kemana mereka semua yang belum tentu mampu untuk
membayar? Mereka semua di tolak dengan alasan yang memang sengaja di
rumit-rumitkan agar tak di ada di antara mereka yang mengerti dan mampu untuk
menentang. Dana bagi mereka yang kurang mampu. Jika semua dana yang terkumpul
dan di beritakan sebanyak satu karung penuh, maka yang sampai kepada
tangan-tangan kurang mampu itu hanya sepersepuluh dari karungnya. Lantas kemana
sembilan/sepuluhnya? Lenyap? Di curi? Atau habis di makan tikus? Iya, semuanya
habis di makan tikus berdasi!
Aku datang
jauh-jauh dari kota asalku Bangka Belitung, untuk membuktikan kalau Jakarta tak
seindah yang di fikirkan oleh rakyat-rakyat desa. Aku hanya seorang gadis
lulusan SMU, datang kemari hanya bermodalkan uang seadanya. Ibu, Bapak di rumah
tak tahu apa tujuan aku kemari. Mereka sempat murka saat aku mengatakan aku
hendak ke Ibu Kota. Mereka mengumpatku kalau satu minggu pun aku tak akan
bertahan disini. Dan ternyata mereka benar!
Baru dua hari aku berada disini, di
Ibu Kota, aku sudah merasakan betapa rindunya aku akan suasana rumahku. Betapa
aku mensyukuri aku masih mempunyai tempat tinggal di kota asalku sana. Betapa
aku merasa prihatin dengan keadaan orang-orang pinggiran ini. Betapa aku
merasakan hilangnya harga diri hidup di kota megah ini. Betapa aku merasa
kecewa dengan para petinggi bangsaku yang selama ini mereka adalah orang yang
hebat di mataku. Tapi setelah aku tahu keadaan orang-orang di pinggir kota ini,
betapa aku sadar, pemerintahku tak sehebat yang ada di dalam mimpiku.
Pemerintahku tak seagung yang di bicarakan oleh orang-orang. Pemerintahku tak
semulia seperti yang di gambarkan oleh media masa.
Aku
sampai di sebuah sekolah yang berada jauh dari pusat kota. Keadaannya tak
begitu memprihatinkan. Namun demikian, aku melihat banyak sekali keganjilan.
Kelas-kelas yang di pakai untuk proses belajar mengajar sudah tak layak lagi
untuk di huni. Atap plafonnya banyak yang sudah lepas dan menggantung di
langit-langit atap. Yang kapan saja bisa runtuh dan menimpa mereka semua yang
sedang menimba ilmu di dalam sini. Lantainya pun banyak yang hancur dan belum
di ganti.
Aku mengintip proses belajar
mengajar dari jendela dengan sudah meminta izin kepala sekolah dahulu
sebelumnya. Aku melihat tak ada banyak buku. Hanya beberapa orang murid saja
yang punya. Sangat berbeda dengan suasana sekolah di tengah kota seperti yang
aku lihat saat dalam perjalanan kaki menuju kemari. Sekolahnya mewah,
bertingkat, dan semua siswa di antar oleh mobil-mobil mewah. Sementara disini,
guru-gurunya hanya mengendarai sepeda motor saja. Semua murid hanya berjalan
kaki, dan tak banyak di antara mereka yang memiliki buku pelajaran. Dimana
fasilitas sekolah gratis mereka? Dimana hak belajar 9 tahun mereka? Dimana para
pemerintahku? Apa mereka lupa kalau di dalam sudut kota ini juga masih banyak
anak bangsa yang ingin bersekolah dan membutuhkan uluran tangan mereka? Apakah
mereka lupa atau sengaja melupakannya? Sungguh malang penerus bangsa ini! L
Tiga
hari sudah aku menetap di kota ini. Ibu Kota tercinta, DKI Jakarta!
Sudah cukup bagiku untuk
menyaksikan tragisnya sebagian besar saudarku yang menetap di pinggir kota ini.
Sudah cukup aku membuktikan kalau pemerintahku tak sehebat yang aku kira!
Sudah cukup aku merasakan
kekecewaan yang amat besar dan mengutuk para petinggi negeriku.
Hari
ini aku akan pulang. Aku akan kembali ke tanah kelahiranku, Bangka Belitung.
Paling tidak disana aku bisa menemukan sedikit keaslian negeriku. Kotaku masih
kota yang asri dan bersih dari tangan-tangan korupsi.
Aku akan menceritakan kepada Ibu
dan Bapak betapa aku menyesal, dulu saat aku masih seumuran adikku, aku
bermimpi suatu saat aku bisa berjumpa dengan presiden dan berjabat tangan
dengannya dan mengucapkan terima kasih karena telah menjaga kami semua, rakyat
Indonesia. Tapi sekarang aku tak lagi mengidolakannya, aku terlambat 40 tahun
untuk berjabat tangan dan berterima kasih kepada presiden negaraku yang
sesungguhnya. Beliau presiden pertama bangsa ini, beliaulah yang aku idolakan,
dan belum ada yang mampu seperti beliau, menghidupkan kembali bangsaku yang
dulu!
Sebelum
pulang, aku mampir ke kantor pos dan menuliskan sebuah surat untuk seseorang,
disana. Isinya ;
“Yang Terhormat Presidenku, nama saya
Laraswati. Saya adalah salah satu orang yang mengidolakan sosok Presiden. Saya
mengidolakan Bapak dan para petinggi Bangsa kita!
Namun,
saya ingin mengungkapkan rasa kekecewaan saya karena keprihatinan saya terhadap
saudara-saudara saya yang belum tersentuh uluran tangan Bapak. Saya merasakan
kesedihan yang luar biasa melihat anak-anak Bangsa kita menangis karena tak
mempunyai buku pelajaran, saya bersedih karena saudara-saudara kita menangis
karena tak mempunyai tempat tinggal, saya bersedih melihat para orang tua yang
menangis karena tak mampu memberikan sesuap nasi kepada anak-anaknya, saya
bersedih melihat saudara-saudara kita yang meninggal dunia karena harus kalah
saingan dengan keluarga berada saat hendak membutuhkan pertolongan di rumah sakit,
dan saya bersedih karena saya tak menemukan apa yang saya cari.
Yang Terhormat Bapak Presiden
Republik Indonesia, tolong dengarkan rintihan saudara-saudara kita yang ada di
pinggir kota, tolong sambutlah para penerus Bangsa kita yang terbejak kemiskinan,
tolonglah perbaiki bangsa kita menjadi bangsa yang mulia!
Suatu
saat saya meminta izin agar saya di terima di kediaman Bapak Presiden Republik
Indonesia, untuk mewujudkan mimpi saya, yaitu berjabat tangan dengan Bapak dan
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya!
Saya Laraswati, saya mewakili Bangsa
kita untuk meminta tolong kepada Bapak Presiden, agar selamatkan Bangsa kita!”
Setelah selesai menulis, ku lipat
suratnya dan ku masukan ke dalam amplop yang sederhana. Ku serahkan kepada
petugas kantor pos tersebut.
“Alamatnya
kemana, Mbak?”
“Tolong
di kirim ke Istana Negara ya, Pak, terima kasih!” ucapku seraya tersenyum.
Petugas itu hanya diam keheranan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
ku ucapkan. Gedung presiden. Mungkin dia heran, siapa aku ini? mengapa aku
begitu merasa penting dan mengirim surat ke gedung presiden? J
Tak berlama-lama lagi, aku segera pulang ke
kampung halamanku.
“Pak Presiden, Saya yakin, suatu hari nanti
saya akan benar-benar merasa berterima kasih kepada Bapak dan mimpi masa kecil
saya akan terwujud!” gumamku di dalam hati.
Namaku
Laraswati.
Palembang,
20 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh titip kritik atau saran ! :)