Pria Ring Basket!!!
Rindy Triana
Ia tersenyum
padaku. Amat manis. Ia laki-laki yang berbeda dari yang lain. Begitulah menurut
pandangan mataku. Ia selalu berada di sana. Di pojok lapangan basket. Bukan
hendak bermain basket, hanya sekedar duduk atau berdiri menyenderkan tubuh di
tiang ring basket. Sesekali aku pernah melihatnya sambil membaca sebuah buku.
Akan tetapi aku lebih sering melihatnya hanya sedang berdiam diri saja, tanpa
melakukan apapun. Itulah yang menurutku membedakannya dengan laki-laki lain.
Dia laki-laki yang unik. Atau boleh di bilang, MISTERIUS!
Di saat anak
laki-laki biasanya sibuk menjahili anak-anak wanita, bermain basket, bermain
gitar, atau nongkrong di kantin dengan sesamanya, ia malah menghabiskan
waktunya hanya untuk berdiam diri di temani sebatang ring basket. Sungguh
kebiasaan yang unik. Menurutku juga, dia laki-laki yang lumayan jutek. Cukup
pendiam untuk ukuran seorang laki-laki berusia 17 tahun.
Ah,
lagi-lagi aku membayangkan saat-saat itu. Rasanya seperti mimpi. Sekarang dia
menjadi pacarku. Pria misterius yang ku kagumi sejak aku masih di bangku kelas
1 SMU. Aku berhasil mencuri hatinya setelah lumayan lama menjadi sahabatnya.
Itupun secara tak sengaja.
Awalnya,
dengan bermodalkan nekat dan penasaran, aku mencari-cari informasi tentangnya
lebih jauh. Menurut kabar dari beberapa sumber, aku mengetahui kalau ia memang
anak yang jutek, tak banyak omong, dan fantastisnya ia juga anak yang lumayan
pintar. Tapi sayang, ia sudah punya pacar di sekolah yang berbeda. Mulai saat itu
juga aku memutuskan untuk berhenti mengaguminya, memikirkannya, atau bahkan
hanya sekedar memerhatikannya yang sedang asyik menyendiri di bawah ring
basket.
Setelah
satu minggu, aku benar-benar menahan diriku untuk tidak melakukan hal yang
biasa ku lakukan. Memerhatikan sosok pria misterius yang berdiri di bawah ring
basket itu. Aku berhasil menyibukan diri dengan menetap di kelas saja saat jam
istirahat. Sampai suatu hari, saat jam pelajaran komputer. Tak terlalu banyak
materi yang kami pelajari, satu jam pelajaran yang masih tersisa, terbuang
sia-sia. Beberapa orang sudah kembali ke dalam kelas. Sementara aku bersama
beberapa orang lainnya lebih memilih menetap di dalam lab komputer untuk
memanfaatkan hotspot sekolah untuk online secara sembunyi-sembunyi. Di saat
yang bersamaan, di beranda akun facebook-ku,
aku melihat akun si ‘Dia’ juga sedang On.
Tanpa fikir panjang aku segera mengirimkan chat
padanya. Setelah beberapa saat chat
terkirim, aku tersadar aku melakukannya tanpa sengaja. Dengan wajah cemas aku
mencari cara agar chat yang ku
kirimkan tadi tidak sampai di baca olehnya. Beberapa orang temanku memerhatikan
tingkahku yang mulai terlihat aneh.
“Kenapa
lo?” salah seorang dari mereka menanyaiku.
“Lo
ngerusakin komputernya, ya?” mereka kembali bertanya.
“Hah?
Enak aja, nih liat! Komputernya masih baik-baik aja tuh!” aku segera
memperlihatkan komputerku yang memang tidak terjadi apa-apa.
“Wah,
lagi chat sama anak jutek itu yaa?
Ciyeee…”
“Hah???”
aku membelalakan mataku ke layar komputer. Ternyata benar, si jutek ngebales chat aku, dan makhluk-makhluk yang ada
di dalam sini sudah menonton aksi chating
aku vs si jutek. Aaarrrgggghhh L O.M.G!!!
Aku
berusaha untuk tenang dan mengabaikan mereka yang terus saja menggodaiku
mengenai Mr.Jutek itu. Ku buka
balasan chat darinya, ‘Yaa???’
Yuhuuu…. Tak di sangka dan tak di
duga, aku menarik kata-kataku kalau ‘aku menyesal sudah mengirimkan chat padanya!’ sunguh aku menarik
kata-kataku itu. Ternyata setelah aksi pengiriman chat tanpa sadar itu membuat kami menjadi lebih dekat dan kami
menjadi sahabat baik, walaupun sebenarnya hanya bersahabat di dunia maya saja.
Pertemanan sebatas akun facebook!
Setelah
lumayan lama kami berteman dan menjadi sahabat curhat, sampai suatu hari dia
mengirimkan pesan ke akun facebookku.
Isinya, dia mengatakan kalau sekarang di sedang melajang!
Dengan mata membelalak dan antusias
yang membara aku segera membalas pesannya dan menanyakan kebenaran dari isi
pesan yang di kirimkannya padaku. Ternyata memang benar hubungannya dengan pacarnya
si Aurel berakhir sehari sebelum dia mengirimkan pesan itu padaku. Setelah hari
pengiriman pesan itu, dia menghilang selama berminggu-minggu. Tak satupun pesan
atau chat dia kirimkan untukku. Sudah
dua minggu ini juga aku tak pernah melihatnya lagi sedang berdiri di bawah ring
basket. Dia benar-benar menghilang. Beberapa orang temanku yang mulai tahu
kedekatanku dengannya mengatakan kalau dia ada di dalam kelasnya dan memang
tidak pernah keluar kelas lagi di saat jam istirahat. Kenapa???
Pesan
terakhir yang di kirimkannya untukku adalah ‘aku butuh waktu buat ngelupain dia!’. Iya, mungkin dia masih merasa
kehilangan dan butuh waktu untuk melupakan mantan pacarnya. Aku merasakan
kesedihan yang dirasakannya. Tapi jujur saja, aku tak dapat menyembunyikan perasaan
gembiraku kalau aku merasa bahagia sekarang dia sudah melajang. Ku akui sejak
itu aku mulai menyukainya!
Aku
mencoba membujuknya untuk kembali menjadi dirinya yang ku ketahui. Menjadi
sosok yang biasa berdiri di bawah ring basket. Yang sesekali melemparkan senyum
untukku yang juga tak pernah absen memerhatikannya dari pintu kelas. Namun, dia
malah mengirimiku pesan yang sangat berbeda dari biasanya. Dia memintaku untuk
tidak lagi mengganggunya atau mengurusi urusannya. Aku membalas pesannya singkat
‘Oh baiklah, aku minta maaf!’.
Lagi-lagi, aku
bersama sahabat dekatku Vira memanfaatkan jam pelajaran komputer yang tersisa
untuk online. Aku tak begitu
bersemangat. Tak ada yang ingin ku lakukan dengan akun facebook-ku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan padanya,
laki-laki ring basket itu, untuk tidak mengganggunya lagi.
“Hey,
udahlah! Masih banyak cowok lain, lagi!” Vira menyemangatiku.
“Lagian,
dia tu terlalu jutek! Lo nggak takut apa, kalaupun ntar kalian jodoh dan
jadian, tapi lo-nya di jutekin mulu? Gimana?”
“Huuu!!!”
aku menjitak kepala Vira.
“Hehehe…
orang yang lagi patah hati, sukanya main kekerasan!”
“Ah,
udah yuk ke kelas!” aku segera berdiri dan hendak kembali ke kelas.
“Eh,
tunggu bentar. Nih liat, si Jutek ngirimin kamu chat!” panggil Vira.
“Norak
lu! Udah ah, nggak usah ngebohongin gue. Ayok ke kelas!”
“Ih,
di bilangin malah ngeyel. Ntar nyesel loh!” aku kembali duduk untuk memastikan
apa benar dia mengirimkan chat
padaku. Ternyata memang benar, dia mengirimkan chat padaku. Tanpa ku sadari bibirku langsung melekuk tersenyum.
“Huuu…
nggak percaya sih lo!” gantian Vira yang menjitak kepalaku. Aku membaca isi chat yang di kirimkannya. Isinya, dia
meminta maaf karena terlalu kasar dengan ucapannya dan meminta agar kami
kembali menjadi sahabat.
***
Hari
ini dia berbeda. Masih sama seperti beberapa hari sebelumnya. Dia sangat
berbeda dari pada biasanya. Aku sudah lama tak melihat senyumannya. Untuk
beberapa hari ini pula kami kehilangan kontak. Kami hanya berjumpa di kampus
dan hanya berselewahan saja, tanpa tegur sapa. Aku tak tahu apa penyebabnya.
Selama satu tahun lebih kami menjalin hubungan, dan sudah terlalu sering
bertengkar menghadapi masalah ini-itu, ini adalah untuk pertama kalinya kami
kehilangan kontak yang seperti ini. Biasanya kami selalu menyelesaikan masalah
kami dengan segera. Tapi tidak untuk kali ini. Sebelumnya aku sudah mencoba
untuk menyelesaikan masalah ini, namun tak ada satupun pesan facebook, pesan ponsel, atau panggilan
ponselku yang di hiraukan olehnya.
Setelah
berfikir cukup lama, aku memutuskan untuk menemuinya sepulang kuliah hari ini.
Aku menemuinya di lapangan parkir, dia sedang bergegas untuk pulang dengan
sepeda motornya tanpa menawariku untuk pulang bersamanya. Beberapa hari ini
juga aku selalu pulang sendiri.
“Jangan
buru-buru! Aku mau ngomong bentar sama kamu!” aku menarik lengannya yang hendak
memasangkan helm ke kepalanya.
“Mau
ngomong apa?”
“Kayaknya
jangan di tempat rame kayak gini deh!” aku melihat ke sekeliling yang memang
ramai di penuhi mahasiswa-mahasiswa kampus yang hendak pulang.
“Yaudah
naik!”
Kami pergi ke
suatu tempat yang biasa kami kunjungi. Di sudut kota, tak jauh dari perumahan
kecil di situ, kami menemukan sebuah lapangan luas yang masih belum tersentuh
oleh manusia. Di tutupi hutan kecil, sehingga tak terlihat oleh keramaian kota.
Ilalang bergoyang-goyang di tiup angin. Hawa angin sore menusuk badan kami
berdua. Kami sudah sering kemari untuk sekedar menikmati sejuknya angin di
lapangan ini, atau untuk bercerita dan menyelesaikan masalah. Dan kali ini, dia
yang mengajakku kemari.
“Silahkan
ngomong!” ucapnya datar. Aku memandanginya sesaat. Tak ada sedikitpun senyum
yang tersirat untukku. Aku menghela nafas cukup dalam lalu mulai berbicara.
“Ada
apa? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi berubah kayak gini?”
“Berubah?”
“Iya!”
“Aku
nggak berubah, emangnya aku power ranger
yang bisa berubah-ubah?” dia berkata sambil tertawa kecil.
“Aku
serius!” aku membentaknya karena memang aku sedang tak ingin main-main.
“Ya,
aku juga serius!”
Hening.
Aku berhenti bicara. Aku membiarkannya melakukan apa saja yang dia mau. Dia
berjalan-jalan menembus ilalang yang padat. Mematahkan beberapa bunga ilalang
dan melempar-lemparkannya ke udara. Sementara aku sedari tadi hanya berdiam
diri di tengah-tengah ilalang yang terus bergoyang menyentuh kakiku.
Sampai akhirnya dia mendekatiku.
“Hmmm…”
gumamnya ragu. Aku hanya melirikan mataku padanya.
“Aku
nggak mau kamu sedih!” saat itulah hatiku merasakan di terjang beribu-ribu
ombak. Apa yang di katakannya? Kenapa aku harus bersedih? Ada apa dengannya?
Apa terjadi sesuatu yang buruk? Hatiku luluh dan kembali bicara.
“Kenapa?”
“Hmmm…”
lagi-lagi dia hanya menggumam tak menjawab.
“Jujur
aja!” aku mulai gelisah. Sepertinya akan ada sesuatu yang membuatku menangis.
“Kamu
nggak sayang lagi sama aku?” celetukku yang sudah tak sabar menunggu jawaban
dari mulutnya.
“Kok
kamu nanyanya gitu?” wajahnya menyiratkan kekecewaan atas pertanyaanku.
“Terus
kenapa kamu jadi jutekin aku?” tubuhku bergetar. Aku takut mendengar
jawabannya.
“Aku,”
jawabnya terputus.
“Aku
apa?” tanyaku semakin penasaran.
“Aku
sayang kok sama kamu!” dia segera memeluk tubuhku yang bergetar hendak
menangis. Aku tertegun. Tubuhku kembali merasakan kehangatan kasih sayangnya.
Tadi aku begitu takut dia mengatakan ‘Iya, aku tidak menyayangimu lagi!’.
Dia terus mendekapku sambil
membisikkan sesuatu di telingaku.
“Aku
sayang sama kamu, maka dari itu aku nggak mau kamu sedih! Tapi, tolong maafin
aku ya!” aku hanya diam tak menjawab. Walaupun begitu, sebenarnya aku tak
mengeti apa maksud perkataanya itu.
“Yuk
pulang! Udah sore!” dia menarik lenganku dan segera mengantarku pulang.
***
Dia sebagai
pacarku atau sebagai pria di tiang ring basket, aku lebih memilih agar ia tetap
menjadi pria di tiang ring basket seperti yang aku kenal dulu saja. Yang
senantiasa tersenyum di saat aku sedang memandanginya. Meski orang-orang lalu
lalang di sekitarnya ia takkan pernah terganggu dan tetap pada tiang ring
basketnya. Yang hanya menjadi sahabat dunia mayaku. Yang hanya mengenalku
sebatas pesan facebook. Yang perduli
padaku meski hanya sebatas sahabat.
Setelah
cukup lama bersama, aku tak pernah tahu kalau akhirnya akan sakit!
Dulu, saat aku baru mengaguminya,
aku berkata ‘aku akan sangat siap
menyukainya!’.
Setelah rasa suka itu benar-benar
hadir dan memenuhi ruang hatiku, aku tetap memegang perkataanku yang mengatakan
‘aku siap!’. Semestinya aku tahu,
Tuhan itu maha mendengar. Tak semestinya aku terlalu menggebu-gebu, sampai
akhirnya, ketika dia mengatakan hendak memintaku menjadi kekasihnya, aku
berkata ‘aku akan siap mencintainya!’.
Aku
selalu merasa siap dengan hal-hal yang membahagiakan yang ada di fikiranku. Aku
selalu mengatakan, aku siap!
Walau sebenarnya aku tahu, aku
takkan siap dengan segala hal.
Setelah aku
benar-benar menjadi cintanya dan akan selalu siap dengan konsekuansi yang telah
aku pilih, aku siap untuk selalu berada di sisinya di kala dia membutuhkan
seseorang untuk selalu mendampinginya. Aku siap untuk menghadapi pertengkaran
dan akan menyelesaikannya secara baik-baik. Aku siap merasa lelah hanya demi
menemaninya. Aku siap menjadi satu-satunya pendengar setia di kala ia butuh
tempat untuk mengadu. Tapi, dia tak pernah tahu kalau aku ‘takkan pernah siap untuk kehilangannya!’.
Mungkin,
jika aku kehilangannya karena kesalahan yang ku buat sendiri, aku takkan
merasakan sakit yang seperti ini!
Dan mungkin, aku pun akan
mengikhlaskannya pergi…
Tapi, dia pergi dariku hanya demi
wanita lain dan membuatku merasakan kehilangan yang begitu sakit!
Dia memilih kembali pada wanita
yang pernah menyakitinya…Aurel!
Friend :‘aku
mau ngomong sesuatu sama kamu, penting!’
Me
: ‘ngomong apa? Silahkan aja!’
Friend : ‘tapi, sebelum aku ngomong kamu harus
janji sama aku, kamu nggak boleh nangis!’
Me
: ‘kenapa?’
Friend : ‘bilang dulu kalau kamu nggak akan
nangis!’
Me
: ‘….:’( kenapa?’
Friend : ‘kenapa nangis? Kamu cengeng deh!’
Me
: ‘terus kenapa? Nggak suka? :’(…’
Friend : ‘hmm, udah jangan nangis! Aku mau jujur
sama kamu…’
Me
: ‘……?????’
Friend : ‘maafin aku ya!’
Me
: ‘maaf apaan? :’(….’
Friend : ‘aku nggak mau ngebohongin kamu. Aku
nggak mau buat kamu nambah sakit hati gara-gara aku! Aku juga nggak mau kamu
terluka karena terus-terusan nyayangin aku.’
Me
: ‘maksudnya apaan?’
Friend : ‘aku sayang sama kamu… tapi, aku juga
masih sayang sama dia!’
Me
: ‘kamu pasti main-main kan? :’(…’
Friend : ‘maaf, tapi aku sudah berusaha jujur sama
kamu. Jangan benci aku ya!’
Me
: ‘AKU BENCI SAMA KAMU! :’( kalau kamu sayang sama aku, kenapa kamu ngomong
kamu juga sayang sama dia, dia itu siapa?’
Friend : ‘maafin aku, jujur aku sayang sama kamu.
Tapi selama ini aku belum bisa ngelupain dia. Aku masih sayang sama Aurel!’
Me
: ‘…………………………’
Friend : ‘pasti lagi nangis, jangan nangis! Please…
L’
Me
: ‘kenapa kamu harus ngomongin ini sekarang?’
Friend : ‘maafin aku, tapi aku bener-bener nggak
bisa bohongin perasaan aku, aku masih sayang sama dia!’
Me
: ‘please, jangan ngomong kayak gitu lagi! :’(‘
Friend : ‘aku nggak mau kamu sakit hati.
Sebenernya aku sudah coba lupain dia, tapi aku nggak bisa. Tapi kita masih bisa
jadi sahabat kayak dulu lagi kan?’
Me
: ‘TEGA KAMU! :’(‘
Friend : ‘maafin aku, tapi aku jatuh di dua hati… L’
Me : Offline_
***
Pria
di bawah tiang ring basket. Aku belum bisa ngelupain dia. Setelah satu tahun
kami berpisah dan aku nggak pernah tahu kabarnya dia, nggak pernah tahu kabar
hubungan mereka, aku nggak pernah tahu lagi urusan mereka berdua.
Dulu,
dia masih sering ngirim pesan ke akun facebook-ku.
Menanyakan kabar, menegur, atau meminta saran atas masalah yang di hadapinya.
Namun tak satupun dari pesannya ada yang ku balas. Sampai akhirnya dia
menghilang!
Dalam
kurun waktu dua tahun, mungkin bagi sepenggal orang, itu sudah waktu yang
sangat lama. Banyak hal yang bisa di lakukan dalam waktu selama itu. Tapi tidak
untukku. Kurang lebih tiga tahun aku menjadi orang yang mengaguminya sebagai
sosok pria ring basket. Hampir satu tahun aku menjadi sahabat akun facebook-nya. Mendengarkan curhatnya,
membantu menyelesaikan masalah yang di hadapinya walaupun kebanyakan adalah
meminta saran agar hubungannya dengan pacarnya dapat membaik. Aku melakukannya
selama hampir satu tahun. Setelah keadaan berubah, seiring waktu kami menjadi
sepasang kekasih yang bisa di katakan akur, dalam waktu satu tahu lebih. Dan
sekarang, dua tahun setelah aku merasa di sakiti, perasaanku belum juga sirna.
Jika di total, sudah hampir 5 tahun aku menjadi orang yang menyayanginya dan 2
tahun dia buatku terkurung dengan hari-hariku yang selalu terbayang oleh
kenangan-kenangan pahit darinya. Waktu bersama dengannya dan waktu setia
padanya memang tak sebanding dengan sakit yang sekarang aku rasakan.
***
Setelah masa
liburan berakhir, aku kembali ke suasana kampus. Mengisi liburan dengan suasana
hati yang berkabung, dan sekarang aku mulai di sibukkan oleh tugas akhir
semester yang harus aku selesaikan dalam waktu kurang dari sebulan.
Dua
tahun terakhir membuatku berevolusi menjadi sosok diriku yang berbeda. Sekarang
banyak di antara mereka yang menjulukiku sebagai Miss Jutek!
Di kampusku juga ada lapangan
basket yang sering di pakai para mahasiswa laki-laki. Aku sering mampir kesana,
menonton pertandingan atau hanya sekedar melihat orang-orang itu berlatih
basket. Entah kenapa, sekarang aku menjadi salah seorang yang menggilai basket.
Atau menggilai lapangan basketnya, entahlah!
Seperti sekarang, lapangan
basketnya sedang kosong, dan aku duduk sendirian di bangku penonton menatap
lurus ke tiang ring basket itu!
Satu
jam berlalu. Aku masih setia dengan bangku penonton yang ku duduki. Beberapa
laki-laki anggota basket mulai memasuki lapangan basket untuk latihan. Mataku
mengikuti langkah kaki orang-orang itu yang berlari kesana kemari menggiring
bola. Salah satu di antara mereka menshooting
bola ke dalam ring basket yang berada di pojok kanan, mataku berlari mengikuti
arah bola basket itu. DAMN!!! Bolanya
berhasil masuk. Satu poin untuk laki-laki itu!
Lagi-lagi
laki-laki yang sama menggiring bola ke ring basket dan akan segera menshooting lagi. Mataku melepaskan
pandangan dari bolanya dan beralih pada laki-laki yang bersandar di ring
basketnya. Dia…!!!
Dia
memandangiku dari bawah sana. Aku segera mengambil tasku dan berlalu dari sana.
‘Hey!’
seseorang menarik lenganku. Orang itu melempar senyum padaku.
‘Apa
kabar?’ tanyanya padaku. Namun mulutku tetap terkunci rapat, enggan menjawab.
‘Hmm…
maafin aku ya, sekarang aku baru sadar kalau aku salah sudah nyia-nyiain cinta
yang tulus dari kamu. Aku salah udah milih orang lain. Please maafin aku!’
‘Sorry,
apa kita sebelumnya pernah saling kenal?’ tanyaku datar.
‘Loh
kok gitu? Aku tahu kamu pasti benci sama aku, tapi, please maafin aku. Aku
nggak bisa ngelupain kamu!’
‘Ihh,
lepas nggak! Aku nggak kenal sama kamu!’ aku memaksa agar dia segera melepaskan
tanganku. Siapa dia? Kenapa dia begitu mirip dengan laki-laki ring basket yang
ada di dalam khayalku? Apa dia mengenalku?
‘Ca,
maafin aku! Jangan kayak gitu donk! Aku sayang sama kamu…’ ujarnya sambil terus
memegang erat tanganku.
‘Aku
bener-bener nggak kenal sama kamu, jadi tolong lepasin tangan aku!’
‘Heh,
lepasin tangan cewek gue!’ Kapten basket yang tadi berhasil beberapa kali menshooting bola ke dalam ring basket,
menghampiri kami berdua.
‘Siapa
lo?’ dia mendorong orang yang sangat mirip dengan pria ring basket yang ada di
mimpiku itu.
‘Lo
yang siapa?’
‘Gue
pacarnya Caca! Lo siapa? Ngapain megang-megang tangan cewek gue?’
‘Gue
mantanya dia!’ ujar pria tadi. Mantan? Aku adalah mantannya? Kapan?
‘Bener,
Ca?’ tanya kapten tim basket itu padaku. Aku mencoba mengingat, dan hasilnya
nihil. Aku menggelengkan kepalaku.
‘Tuh
liat! Caca emang nggak kenal sama elo!’
‘Tapi
Ca, kok kamu jadi gini sih?’ pria yang mirip seperti yang ada di mimpiku itu
mencoba kembali meraih lenganku. Namun di halau oleh kapten basket tadi.
‘Sorry
Bro, tapi kayaknya Caca udah lupa sama lo. Caca ini pernah kecelakaan, dan
selama dua tahun ini dia tu amnesia, jadi nggak banyak orang yang dia ingat.
Dan asal lo tau, Caca adalah cewek gue, dan mulai sekarang lo jangan deketin
Caca lagi, karena Caca nggak pernah inget sama elo!’ kapten basket itu
membawaku pergi dari pria yang sepertinya pernah ku kenal itu.
‘Ca!!!
aku pria ring basket itu, Ca!!! kamu pasti inget kan? Ca, aku tahu kamu
inget!!!’ teriaknya dari belakangku. Entahlah, dia benar pria ring basket itu
atau bukan. Tapi ku harap bukan dia orangnya, karena sekarang aku sangat
membenci pria ring basket itu!
Kalau sampai nanti ku temukan dia
bersama wanita itu, ingin aku katakan kalau aku bukan lagi penggemarnya dulu.
Bukan lagi penggemar pria ring basket itu, dan aku juga ingin mengatakan
padanya kalau sekarang aku sudah memiliki seseorang yang lebih dari pada pria
di bawah ring basket, aku memiliki seorang pria kapten dari lapangan basket
itu!
***
Palembang,
16 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh titip kritik atau saran ! :)